Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan penting, mengingat lebih dari 40% angkatan kerjanya menggantungkan hidup di sektor ini. Berdasarkan data International Labour Organisation (ILO), sekitar 1,3 juta orang bekerja di bidang pertanian di seluruh dunia (setengah dari jumlah keseluruhan pekerja). Dari angka tersebut, 60% diantaranya bekerja di negara berkembang. Tingkat kecelakaan fatal di negara berkembang empat kali lebih tinggi dibanding negara industri. Di negara berkembang kebanyakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja terjadi di bidang pertanian, perikanan, perkayuan, pertambangan dan konstruksi. Di lain pihak, di Indonesia kelima sektor industri ini memberikan konstribusi yang sangat penting bagi perekonomian.
K3 PADA SEKTOR PERTANIAN
Berdasarkan
data yang diperoleh dari database ASEAN OSHANET dan ILO, kecelakaan kerja di
Indonesia yang terjadi di industri pertanian menduduki tempat kedua atau ketiga
terbesar dibanding industri lain2. Pada tahun 1999, dari 1.476 kasus kematian
yang terjadi, 280 kasus diantaranya menimpa pekerja pertanian. Penggunaan
mesin-mesin dan alat-alat berat seperti traktor, mesin pemanen, alat tanam dan
sebagainya di sektor pertanian merupakan sumber bahaya yang dapat mengakibatkan
cedera dan kecelakaan kerja fatal.
Selain
itu, penggunaan pestisida dapat menyebabkan keracunan atau penyakit yang
serius, serta debu binatang dan tumbuhan hasil bumi dapat mengakibatkan alergi
dan penyakit pernafasan. Karena Indonesia merupakan negara tropis, maka pekerja
di bidang pertanian beresiko terkena sengatan matahari dan hawa panas. Situasi
akan semakin buruk jika air bersih untuk diminum tidak ada atau kurang tersedia
dan sanitasi yang tidak memadai sehingga dapat menimbulkan penyakit menular.
Bahaya lain meliputi semua jenis nyeri otot akibat keseleo/terkilir akibat
mengangkat atau membawa beban, melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang dan
bekerja dengan postur tubuh yang salah, dan berbagai masalah psiko-sosial.
Risiko terkena tanaman beracun atau berbahaya, serangan binatang buas, gigitan
serangga dan ular juga merupakan risiko yang sudah umum diketahui.
Faktor
lain yang memicu terjadinya kecelakaan di bidang pertanian adalah terbatasnya
waktu yang tersedia untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang diakibatkan oleh
batasan iklim. Hal ini mengakibatkan terburu-burunya pekerja di dalam
menyelesaikan pekerjaan, yang berujung pada ketidakacuhan terhadap keselamatan
dirinya. Selain itu penggunaan alat dan mesin pertanian yang didesain untuk
melaksanakan beberapa pekerjaan sekaligus, mengakibatkan dituntutnya operator
untuk memiliki tingkat keterampilan dan konsentrasi yang tinggi yang dapat
mengakibatkan kelelahan yang berujung pada kecelakaan. Boswell mengatakan
adanya pola kecelakaan yang unik di bidang pertanian, mengingat biasanya
keluarga petani tinggal di sekitar lahan pertanian dimana anak kecil bebas
bermain atau bahkan terlibat di dalam pekerjaan pertanian tersebut yang bisa
mengakibatkan terjadinya kecelakaan akibat kecerobohan. Bidang pertanian juga
umumnya digeluti oleh orang lanjut usia yang rawan terkena kecelakaan kerja.
Hal yang mempengaruhi tingginya kecelakaan kerja di negara berkembang (termasuk Indonesia) dibandingkan dengan negara maju adalah perspektif masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan kerja, sistem yang berjalan dan perangkat hukum yang memadai. Di negara maju, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja sangat tinggi, hal ini diakibatkan oleh adanya perangkat sistem dan hukum yang memadai dan diterapkannya hukum secara tegas.
Di
lain pihak, di negara berkembang, perangkat hukum keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) biasanya tidak memadai atau bahkan tidak ada. Hal ini diperparah
dengan rendahnya penegakan hukum. Selain itu rendahnya tingkat pendidikan dan
tingginya tingkat buta huruf di Negara berkembang juga menjadi faktor pemicu,
serta kendala biaya di dalam penerapan K3 mengingat sebagian besar merupakan
industri skala kecil yang mudah menghadapi masalah ekonomi.
Terjadinya kecelakaan ini tentu saja merugikan secara ekonomi dan terhadap kondisi kesehatan pekerja. Kecelakaan bisa mengakibatkan hilangnya waktu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan pertanian yang waktu pengerjaannya terbatas. Pada kondisi ekstrim, kecelakaan bisa berakibat pada hilangnya nyawa pekerja. Untuk itu penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di bidang pertanian perlu diperhatikan. Tingkat kecelakaan kerja pada bidang pertanian di Indonesia dibanding industri lain tergolong tinggi. Hal ini perlu diperhatikan secara khusus mengingat sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian dan besarnya konstribusi sektor ini terhadap perekonomian negara.
Pemerintah Indonesia telah berupaya membuat perangkat hukum keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang cukup lengkap, namun perangkat hukum yang spesifik pada bidang pertanian kurang memadai. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran, perilaku, dan sikap untuk menanamkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
PERAN PEMERINTAH DAN PERANGKAT HUKUM K3 DI INDONESIA
Landasan hukum penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Indonesia adalah UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yang berisi 3 hal penting, yaitu syarat-syarat keselamatan kerja (memuat tentang kondisi kerja yang aman); hak dan kewajiban pekerja termasuk penggunaan alat pelindung diri; dan kewajiban manajemen/pemilik diantaranya penyeba-ran informasi K3. Undang-undang ini meliputi semua tempat kerja dan menekankan pentingya upaya dan tindakan pencegahan primer. Saat ini terjadi perdebatan untuk merevisi UU no. 1 tahun 1970 dan disesuaikan dengan perkembangan dan tantangan globalisasi sehingga memadai untuk melindungi pekerja. Sanksi UU ini juga dinilai terlalu lunak. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia telah mengatur pelaksanaan sistem manajemen K3 untuk perusahaan-perusahaan yang beresiko tinggi di dalam Peraturan Menteri No. 5 tahun 1996.
Sistem manajemen K3 didesain untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan mengenali potensi bahaya kecelakaan kerja dan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai kondisi kerja yang aman. Peraturan menteri ini juga mengatur komitmen untuk menerapkan, mengontrol dan mengevaluasi pelaksanaan K3 secara teratur. Menurut Markanen, Indonesia merupakan satu-satunya Negara di Asia yang telah secara hukum mewajibkan pelaksanaan sistem manajemen K3 di perusahaan-perusahaan besar.
Kewajiban untuk melaksanakan K3 dan sistem manajemen K3 juga diatur dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah Indonesia telah membentuk 3 lembaga administratif untuk pelaksanaan K3, yaitu Pusat Pengembangan K3 (dibawah kementerian tenaga kerja dan transmigrasi), Direktorat Standar K3 (dibawah kementerian tenaga kerja dan transmigrasi), dan Pusat Kesehatan Kerja (di bawah Kementerian Kesehatan). Markkanen mengatakan, bahwa Direktorat K3 telah menerbitkan sejumlah buku saku K3 tentang pekerja dalam berbagai kegiatan dalam perekonomian informal. Khusus untuk bidang pertanian, pemerintah dan Asosiasi pengusaha Indonesia (APINDO) telah membicarakan cara-cara mengajarkan K3 kepada petani dengan cara yang sederhana dan efektif.
PENERAPAN K3 DI BIDANG PERTANIAN DI
INDONESIA
Sebagaimana
negara lain, penggunaan alat-alat berat pada lahan pertanian di Indonesia juga
dilakukan, misalnya penggunaan traktor, alat penyiang gulma, alat pemanen, dan
sebagainya. Dalam penggunaan alat-alat berat ini, resiko timbulnya kecelakaan
dapat terjadi. Selain itu, resiko lain kegiatan pertanian yang umum dilakukan
adalah penggunaan pestisida yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pemerintah
Indonesia telah mengatur perangkat hukum K3 untuk bidang pertanian, namun
perangkat hukum ini hanya terbatas pada penggunaan pestisida saja, yaitu PP.
No. 7 tahun 1973 tentang pengawasan distribusi, penyimpanan, dan penggunaan
pestisida dan Peraturan Menteri No. 3 tahun 1986 tentang pemakaian pestisida di
tempat kerja.
Perangkat
hukum yang secara spesifik mengatur penggunaan alat dan mesin pertanian
(alsintan) secara aman (safety) tidak ditemukan. Adapun PP Republik Indonesia
No. 81 tahun 2001 tentang alat dan mesin budidaya tanaman hanya memberikan
penjelasan umum tentang kewajiban memperhatikan K3 dalam penggunaan alsintan
dan kewajiban pengawasan penggunaan alsintan untuk menjamin tercapainya K3.
Mengingat Indonesia merupakan Negara agraris dengan sekitar 70% wilayahnya
terdiri dari daerah pedesaan dan pertanian, maka konvensi ILO No. 184 tahun
2001 tentang keselamatan dan kesehatan kerja di bidang pertanian dianggap
sebagai perangkat kebijakan yang bermanfaat. Tetapi secara luas, Indonesia
dianggap tidak siap meratifikasi konvensi ini karena rendahnya tingkat
kesadaran K3 diantara pekerja pertanian.
Tingkat pendidikan umum pekerja pertanian juga rendah, rata-rata hanya 3
sampai 4 tahun di Sekolah Dasar. Oleh karena itu, sebelum meratifikasi konvensi
ini, terlebih dahulu perlu dilaksanakan program pendidikan dan pelatihan
tentang penerapan K3 di bidang pertanian.
PENERAPAN K3 DI NEGARA MAJU
Di negara maju, industri pertanian sukses bertransisi dari industri dengan tingkat tenaga kerja tinggi dan tingkat produktivitas rendah, ke industri dengan tingkat tenaga kerja rendah dan produktivitas tinggi. Peningkatan mekanisasi pertanian, elektrifikasi pertanian dan penggunaan bahan kimia (pestisida) merupakan faktor yang mendorong perubahan ini, namun di lain pihak, faktor-faktor ini juga meningkatkan risiko kerja yang berpengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Pengurangan tenaga kerja ini menuntut pekerja harus kompeten di dalam melaksanakan beberapa pekerjaan pertanian, dan seringkali harus bekerja seorang diri tanpa ada yang mengawasi. Dalam situasi ini, pengetahuan dan pemahaman tentang K3 dan sikap positif terhadap K3 adalah prasyarat untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Peraturan perundang-undangan K3 yang diaplikasikan di Eropa (khususnya Inggris) dan Amerika Serikat diambil sebagai acuan negara maju di dalam studi ini. Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan K3 dibagi ke dalam 2 grup, yaitu: peraturan yang secara khusus mengatur pelaksanaan K3 di bidang/pekerjaan pertanian, dan peraturan yang bersifat lebih umum atau multiindustri. Di Inggris, peraturan yang secara khusus mengatur pengoperasian alsintan telah ada pada awal abad 19, namun baru pada tahun 1952 dikeluarkan UU Pertanian (tentang Bahan Beracun) dan tahun 1956 seiring dengan pesatnya penggunaan alsintan dikeluarkan UU Pertanian (tentang ketentuan Keselamatan, Kesehataan dan Kesejahteraan). Peraturan khusus di bidang pertanian ini memuat persyaratan yang mendasar dan detail untuk alsintan tertentu, kegiatan pertanian, dan sebagainya. Peraturan yang bersifat umum dibuat dengan mengacu pada UU tahun 1974tentang kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Isi peraturan multi industri ini memang bersifat umum, namun didukung oleh Approved Codes of Practice (pedoman pelaksanaan).
Demikian Pembahasan hari ini, Semoga Bermanfaat dan Terima kasih.!!!
0 Komentar